Sabtu, 28 April 2012

SEMAYA

Tidak ada yang sempurna, itulah kehidupanku. Harapan demi harapan sejak dulu selalu ada dan senantiasa memenuhi isi kepala. Awal kehidupan tak terlalu kuingat, namun keadaan keluarga masih melekat semenjak kecil, sejak aku mulai dapat berbicara dan berkomunikasi dengan orang lain. Mungkin tidak ada yang istimewa, hanya kesan yang kadang menggelikan untuk diceritakan, sebagai seorang anak aku tak pernah menginginkan sesutu yang belum aku tahu atau mengerti. Makan minum, tidur dan bermain itu sudah cukup untuk sebuah modal perjalanan hidup. Sekolah, pertama dalam ingatanku pernah masuk taman kanak-kanak namun tidak sampai lulus entah mengapa sebabnya, juga tidak tahu berapa umurku saat itu. Setelah beberapa bulan kemudia masuk sekolah dasar, disitulah awal mengenal apa yang disebut belajar, tadinya aku mengira disekolah itu adalah tempat untuk bermain sepuas-puasnya, ternyata disana disuruh belajar, menghafal huruf, bernyanyi dan berhitung, bahkan sepulang sekolahpun masih disuruh untuk mengerjakan pekerjaan rumah atau PR. Sampai dua tahun aku tidak kerasan disekolah sebab ternyata sekolah membatasi ruang bermainku, ditahun ketiga mulai ada semacam tuntutan harus dapat membaca dan menulis juga berhitung, dan masih dalam isi otakku semua tidak mempunyai arti apa-apa, untuk apa menulis, membaca dan berhitung. pelajaran kesenian lumayan dapat menghibur kegalauan hati sebab lebih sering menyanyi daripada menulis, namun untuk bernyanyi biasanya disuruh menulis terlebih dahulu syair lagu dengan tanda balok yang sangat merepotkan, tapi setengah jam kemudian diisi dengan menyanyi dan menghafalkan lagu tersebut,tidak banyak lagu yang dapat dipelajari sebab dalam seminggu hanya satu jam pelajaran, dan untuk menghafal satu lagu kadang sampai sebulan. Pelajaran yang aku suka waktu itu hanya bahasa Indonesia, sebab pelajaran itu tidak banyak menghitung. Saat tiba pelajaran matematika dan IPA kepala rasanya pusing, disuruh menambah, menjumlah, membagi juga menghafal nama-nama asing yang jarang terdengar dilingkungan rumah, kadang menjemukan. Kelas tiga SD mataku mulai hafal dengan huruf latin dan juga huruf arab, mulai lancar juga membaca kedua jenis huruf tersebut meski masih tersendat-sendat. Pantun adalah salah satu pelajaran yang kusuka setelah puisi dan dongeng, jika sudah pelajaran itu maka mata dan telinga dipaksa untuk serius memperhatikan, meski tidak mengerti apa artinya dari kalimat-kalimat yang ada dalam buku dan yang diucapkan oleh guru. Tulisan tanganku sudah mulai bagus kata guru dan kata kedua orang tuaku, sebenarnya kedua orangtuaku tidak dapat menulis apalagi membaca, namun dia selalu bersemangat saat aku mengerjakan PR dan belajar membaca, anehnya mereka hebat dalam berhitung, meski tidak tahu angka namun kalau disuruh menghitung kecepatannya seperti kecepatan cahaya. Pernah suatu ketika ada Pr matematika, dan aku bertanya kepada mereka sebelum aku selesai menghitung dengan pensil mulut bapak sudah menjawab, dan ternyata benar, ajaib, hebatnya bapakku. mulai dari kejadian itulah aku belajar berhitung dengan sungguh-sungguh agar tidak kalah dengan bapak atau ibuku, sering bapak menggoda dengan mengatakan " jangan sampai kalah sama orang yang tidak sekola " namun tidak pernah sekalipun aku dapat mengungguli kecepatan hitun bapak, namun bapak selalu memberitahu cara berhitung cepat dengan hafalan dan jari yang bahkan disekolah tidak diajarkan. Mulai kelas empat otakku seperti penuh dengan hafalan, selain sekolah di SD aku juga sekolah sore di madrasah diniyah, sekolah madrasah berpindah-pindah tanpa sesuatu yang jelas. pada masa itu sekolah madrasah dianggap sebagai ukuran orang islam jika mau lebih tahu tentang agama islam, dan aku coba mengikutinya beberapa tahun, karena kepala sekolahnya tetanggaku jadi mudah sekali masuk madrasah tanpa harus mendaftar ini itu, yang penting berangkat setelah waktu dzuhur. Madarasah diniyah saat itu ada dua, yang satu milik Nu dan yang satunya milik Muhammadiyah. madrasah milik Nu banyak sekali muridnya, sampai ratusan, dari kelas satu sampai kelas enam terisi semua, namun madrasah milik Muhammadiyah hanya ada tiga kelas yang terisi. karena bapak waktu itu dimusuhi oleh warga Nu karena bapak ikut partai PNI maka aku dipindahkan sekolahnya dimadrasah Muhammadiyah, katanya biar ada muridnya, kasihan kelasnya sepi. Aku turuti pindah sekolah dimadrasah Muhammadiyah, satu bulan pertama betah, karena sekolah dekat dengan sungai, jadi setiap istirahat main disungai. Suatu ketika musim kemarau datang, dan mandi dikedung adalah tempat bermain yang mengasyikan, pernah sebelum masuk kelas aku main kekali dan mandi sampai lupa waktu, sampai pelajaran habis masih mandi dikali bersama teman-teman. Disekolah madrasah ini aku dapat banyak pelajaran dongeng, dari cerita nabi sampai cerita lucu warisan nenek moyang, mengasyikan sekali. Tidak sampai setahun aku sekolah dimadrasah milik Muhammadiyah, satu persatu temanku berhenti sekolah karena malas dan telah lulus SD, mereka melanjutkan ke SMP dan pulangnya sehabis Dzuhur, maka sekolah madrasah ditinggal begitu saja tanpa permisi kepada guru atau kepala sekolah, kejadian seperti itu sudah menjadi maklum, sebab aturan tidak terlalu mengikat disekolah madrasah, hanya bagi yang mau sekolah katanya. Karena pengaruh teman dan dengan alasan jauh akhirnya berhenti juga aku sekolah madrasah, saat aku berhenti muridnya belum juga bertambah banyak, bahkan semakin sedikit, mungkin alasan yang sama seperti temanku. Sekolah SD kelas lima aku mulai lancar dengan baca tulis namun tidak pandai dalam berhitung, tidak pernah memikirkan untuk jadi juara kelas atau apapun, sekolah ya sekolah sesuai perintah orang tua, dan tidak ada perintah untuk jadi bintang kelas, harapan kedua orang tua hanya agar aku dapat membaca dan menulis juga berhitung, kata bapak agar tidak dibodohi orang lain, syaratnya sekolah. Bermain adalah kebiasaan yang tidak mungkin dilupakan, dengan bermain beban sekolah menjadi ringan, paling sering bermain bola, dan permainan yang memiliki unsur lari, sebab lariku waktu itu lumayan cepat dibanding lainnya, jadi setiap lomba lari dengan teman sebaya selalu saja menang, dan kecepatan lariku waktu disekolah dan distopwatc, seratus meter dua belas detik, angka yang lumayan kata guru olahragaku. Liburan sekolah saat kenaikan kelas adalah sesuatu yang ditunggu oleh setiap pelajar, begitu juga olehku. Saat mau naik kekelas enam peristiwa yang kurang enak aku alami, hampir selama liburan panjang sebulan aku terkapar diranjang ditemani bantal dan kasur, menjemukan. Kebiasaan dikampung saat liburan bukanlah piknik ketempat pariwisata atau kekbun binatang seperti orang kota, namun liburan diisi dengan kegiatan membantu orang tua, disawah, ladang atau dihutan mencari kayu bakar. Bapak memiliki sepetak sawah dan kebun tandus, jadi aku tidak perlu ikut membantu ditempat itu karena tidak terlalu lebar sawahnya. Kegiatan yang bisa aku kerjakan untuk membantu orang tua adalah mencari kayu bakar, mencari ranting kering yang sudah jatuh ditanah karena angin atau sudah lapuk, kata bapak agar enteng dan bisa langsung dipakai untuk memasak. Niatnya membantu untuk bahan bakar pawon, pagi-pagi bersama-teman-teman masuk hutan. Waktu sebelum berangkat kehutan bapak telah berpesan agar aku jangan memanjat pohon jati, cari saja kayu bakar yang sudah kering biar enteng dibawanya. Bapak sangat perhatian sekali, dia tahu aku berbadan kecil dan tidak mau aku celaka dihutan seperti anak pamanku yang jatuh dari pohon jati karena ingin mendapat kayu yang cepat dan sesuai keinginan, tangannya patah dan terkapar berminggu-minggu diranjang. Aku lupa nasehat bapak, saat dihutan kulihat teman-teman berlomba-lomba mencari kayu kering, mata kami seperti serigala lapar yang sedang mencari mangsa, anamun mangsa kami adalah kayu kering yang sudah jatuh ditanah. Karena ingin cepat mendapat kayu bakar dan cepat pulang agar cepat makan sayaur asem, mataku melihat ranting kering yang belum jatuh ketanah, perlahan-lahan aku panjat pohon jati agar temanku tidak tahu. golok aku taruh disamping supaya tidak mengganggu proses memanjat, baynganku ranting kering yang lumayan gede akan cepat kudapat, dan pastinya kalau aku membawa pulang kayu bakar yang sudah kering ibuku pasti senang. Karena perasaan senang itulah aku pelan-pelan merayap seperti seekor kera memanjat pohon, semeter aku sudah lalui, semakin dekat ranting kering, tinggal beberapa meter lagi, kuraih dahan jati untuk pegangan karena capai juga mengandalkan kaki dan tangan, saat dahan telah kuraih dan badan mulai terangkat tiba-tiba kraaak dahan tersebut patah dan aku ikut terjatuh bersama rranting kering, buk badanku jatuh tengkurap, namun saat aku mau telentang kaki kiriku susah diangkat, ternyata tuulang keringku tertusuk kayu selong kering yang lancip. kuangkat pelan-pelan, tidak ada darah yang menetes, aku anggap itu sepele, namun saat aku akan melangkah terasa berat dan ternyata aku tak sanggup berdiri, sisa tancapan pohon selong membekas ditulang keringku, lubang kecil yang menyakitkan. Aneh tidak ada darah yang menetes tetapi terasa sakit sekali. Aku menjerit memanggil temanku, mereka menganggap aku sedang bercanda, aku panggil berulangkali dan belum ada yang mendekat juga. Akhirnya aku menangis agar mereka percaya bahwa aku sedang kesakitan, tidak berapa lama mereka berdatangan dan menanyakan aku kenapa. Aku jelaskan kejadiannya, dan mereka keheranan karena tidak ada darah tetapi kesakitan, mereka mencoba mengangkatku, kakiku terasa sudah putus, lalu mereka menggendongku, dan aku menangis sejadi-jadinya menahan sakit. Salah satau temanku mencoba memberikan perawatan dengan mengurut kakiku, namun yang terjadi kaki disekitar tulang keringku menjadi besar dan berwarna biru, ditengahnya ada lubang yang mengerikan. mereka kebingungan dan aku masih saja menangis kesakitan, semua temanku berunding mencari cara bagaimana membawaku kerumah. Akhirnya ide anak sekolahan keluar juga, mereka yang pernah ikut pramuka menyarankan agar aku ditandu, aku setuju tetapi aku meinta gar hati-hati dalam menandu sebab sakit sekali kaki saat bergerak walau sedikit gerakan. Denagan lincah salah satu temanku memanjat pohon jati dan memotong beberapa dahan, saat dahan jatuh ketanah suara peluit terdengar priiiit, semua kaget dan ketakutan, itu adalah suara peluit milik mandor penjaga hutan. Aku menangis ketakutan dan semua temanku juga ketakutan jika sampai tertangkap pasti akan masuk penjara dan dibawa polisi hutan. Pak mandor hutan kahirnya tidak menangkap kami, dia membolehkan kami membuat tandu, jadilah aku seperti jenderal Sudirman yang ditandu dalam memimpin perang gerilya, sama-sama sedang sakit, bedanya pak Dirman sebagai panglima perang sedang aku sipesakitan dari hutan karena jatuh dari pohon. Akibat kejadian itu aku menikmati liburan sekolah diranjang, dengan telaten bapak dan ibuku merawatku, aku takut sekali kakiku tidak akan sembuh dan menjadi lumpuh, tidak bisa lari dan main bola lagi, alangkah sedih hatiku saat itu, sekali dalam hidup terbaring tidak berdaya, bahkan untuk buang hajat sekalipun aku harus diranjang.

Jumat, 06 April 2012

KACAU

kacau. itulah kata yang tepat untukku saat ini, selama tahun 2012 belum jelas apa keinginan dan tujuan hidup. memandang kedepan seperti gelap, menengok kebelakang samar, samping kanan dan kiri remang-remang. entah apa yang dimaui hati, isi kepala atau apapun yang menggerakkan tubuh ini. awal tahun awalnya berjalan lancar, mulus tanpa halangan berat, namun itu tidak bertahan lama, hanya dua minggu, selanjutnya otak bekerja keras, seperti cucian baju saat diperas, sepertinya tuntas padahal belum kering.

bulan kedua ditahun 2012, tidak bertambah baik, galau sepanjang malam memikirkan yang kata orang semestinya tidak perlu dipikirkan. dalam hati berkata, tidak mungkin tidak dipikir, sebab hati selalu berkata dan otak memaksa untuk dipikir. aku tidak dapat lepas tangan dengan apa yang terlihat mata, kesedihan, kepiluan, dan ketidakberdayaan orang dihadapan mataku. selama aku mampu mengerjakan, akan aku usahakan membantu, dan satu, mulut ini tidak mampu menahan kata siap membantu.

mungkin karena ketelatenan satu masalah terselesaikan, masalah orang lain, meski masalahku tidak selesai-selesai. satu masalah beres, datang lagi masalah baru. aku menikmati apa yang datang padaku, apabila sudah berjanji amat sulit untuk tidak menepati. prinsip yang selalu aku pegang, meski kadang ada yang mengatakan tidak perlu dipikirkan, cukup jawab Insya Allah masalah beres, jika sudah terlanjur tinggal bilang maaf, urusan selesai, namun kadang itu tidak berlaku untukku.

bulan ketiga berjalan seperti lambat, dan Tuhan sangat menyayangiku. seminggu menikmati bulam Maret dengan sehat, selanjutnya ketidakberdayaan menimpaku sampai tanggal dibulan ketiga habis, bukan hanya itu, bertumpuk-tumpuk masalah menghadangku. bukan semua masalah pribadiku namun masalah orang yang kebetulan menemuiku, aku tetap bersyukur masih diberi kepercayaan, meski sebenarnya aku bukanlah ahli dalam menyelesaikan masalah. meski lambat namun terselesaikan.

entah sampai kapan hidup hanya dengan bayang-bayang. membayangkanpun tak pernah, tetapi bayang-bayang harapan itu senantiasa datang disetiap kesendirianku. aku adalah orang yang tak pernah memimpikan masa depan, bagiku hari ini adalah masa depan itu sendiri, sebab tidak satupun manusia didunia yang tahu kapan nafas berhenti berhembus, dan umur berakhir. masa depan adalah gelap dan masa lalu adalah remang, antara remang dan gelap entah dimana terang berada.