Senin, 27 Desember 2010

CATATAN PANJANG DARI HIDUP YANG PENDEK III

Catatan hidup kembali menemui angin untuk mempertanyakan sampai dimana pemberhentian terakhirnya. Angin tak menjawab sebab angin tak pernah menyimpan catatan, angin menyarankan bertanya pada awan, datanglah awan dengan bergulung gulung pucat masam sebab senja mulai datang, gelapnya membingungkan mana awan dan mana senja, awan ditanya tak menjawab, hanya jari telunjuknya menunjuk kebawah, mungkin tanah yang di maksud awan, di tanya tanah dan tanah menangis terisak sebab awan menggodanya di senja hari dengan membawa banyak air di pundaknya pertanda hujan akan turun, tanah mengepalkan tangan pada awan sebab malam ini ingin kehangatan, tanah masih becek sebab semalam hujan berjam jam, diatas sana awan terkekeh kekeh pada tanah, lalu tanah hanya bisa bergumam tak menjawab pertanyaan. catatan hidup tak bisa berlari sebab kaki tetap menginjak bumi yang masih becek sisa hujan semalam.



Hari datang lagi pagi, pagi berjalan menuju siang, lalu siang menyapa senja, dan senja serahkan kepada malam, begitu setiap hari tak lelah selama berabad abad. berderet deret catatan catatan hidup manusia, diiringi senyum, tangis, bahkan darah untuk mengotori tanah meski tak seharusnya tanah meminum darah tersebut, namun dengan terpaksa menelannya meski pahit di seratai kutukan dan cacian bertubi tubi menimpanya, padahal tak pernah ada keinginan tanah untuk meminum darah, darah sendiri yang tumpah saat tanah menganga akibat ulah manusia yang seakan akan bangga mapu menumpahkan darah, tak berarti lagi air mata, setelah darah musnah, nyawa melayang, dan kembali tanah menelan jasad manusia setalah digali lalu di timbun lagi, tanah luka tanpa tahu itu luka, sebab lukanya tanah tak meneteskan darah, tanah tetap menyimpan mata air, untuk di minum jernihnya oleh manusia dan tanah di paksa meminum sisanya, penuh sampah dan rasa yang tak mau di rasakan oleh manusia.



tanah tak pernah protes, meski setiap hari anak anak tanah yaitu debu saat bermain main senantiasa terusik dan di singkirkan, jangankan menempel di meja sang penguasa, diatas kloset pun tidak boleh, tanah tak menangis sebab tanah tak punya air mata, yang ia punyai hanya mata air yang selalu sejuk, nikmat untuk melegakan setiap tenggorokan makhluk hidup, dan manusia selalu serakah tentang apapun, mata air adalah milik tanah namun kepemilikannya diakui manusia, tanah tak berdemo minta keadilan manusia, tak menuntut pada pemilik mata air yang sebenarnya hanya tinggal menikmati dari timba timba kerakusannya, demi perutnya yang tak pernah mau puas meski ratusan sumur telah diminum semua airnya.



Catatan kehidupan berputar putar, antara air, tanah, api dan udara, dan delapan penjuru angin. berjalan semaunya beristirahat sesukanya, dan berlari meski kaki tak kuat lagi berlari, merangkul meski tangan tak sanggup lagi menggenggam. Catatan itu melayang layang bertanya sampai dimana dan sampai kapan tercatat, semua tak ada yang mampu menjawab, catatan istirahat memenuhi panggilan isi perut yang mulai lapar dan otak mulai jengah dengan apa yang setiap waktu pelaku catatan tak sadar apa yang telah di catatkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar